Cabut Subsidi, Bukti Suburnya Liberalisasi


Awal bulan di tahun 2020 rakyat Indonesia kembali dengan lembaran dan peristiwa yang  cukup menggugah rasa. Mulai dari banjir, kenaikan tarif iuran BPJS sampai dengan berbagai kebijakan-kebijakan baru oleh pemerintah yang justru semakin membuat rakyat kita merasakan perihnya hidup. Salah satu diantaranya ialah wacana akan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga gas elpiji tabung melon. Gas elpiji yang sebelumnya diberikan secara subsidi, oleh pemerintah direncanakan akan naik tepat dipertengahn tahun perkiraan bulan Juni 2020. Adapun alasanya kenaikan tersebut dikarenakan pihak kementrian ESDM melihat banyak tidak tepat sasaran atas penerimaan subsidi gas melon tersebut. Meski baru sekedar wacana, namun kita coba berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, tetap saja itu menjadi sebuah realita karena pun juga Kementrian ESDM Mengatakan sedang mempersiapkan terkait dengan teknisnya.
Sudahlah sulit, bergantinya tahun ini pun tak menjadikan hidup rakyat menjadi lebih baik. Setelah sebelum lama pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS, naiknya tariff listrik di tambah kini wacana naiknya harga elpiji justru akan semakin menambah beban hidup rakyat yang semakin terhimpit. Faktanya justru posisi pemerintah tak ubahnya sebagaimana penjual dangn rakyatnya. Tidak lagi dalam fungsi mengayomi namun justru jual beli dengan rakyatnya sendiri.
Kasus dicabutnya gas elpiji ini, sebenarnya semain membuka tabir bagaimana arus liberalisasi di negeri ini sudah semakin menjadi. Tak ubahnya dengan fenomena di tahun 2018, pemerintah pun dengan dalih tak tepat sasarn dijadikannya alasan mencabut subsidi. Perlahan namun terus berjalan subsidi semakin hilang, namun faktanya masih dengan alas an yang sama karena tak tepat sasaran. Maka sebenarnya bukan karena tak tepat sasaran, melainkan adanya liberalisasi orang-orang yang menguasai sumber daya yang seharusnya itu menjadi pemenuhan kebutuhan rakyat.
Dalam kasus bahan bakar migas yang sejatinya sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Diprediksi subsidi ini akan terus dikurangi hingga masyarakat lambat laun dipaksa membeli produk elpiji komersial yang tentunya lebih menguntungkan pihak pemerintah. Entah bagaimana nasib rakyat ke depan. Yang jelas, keengganan pemerintah untuk memberi layanan mudah dan murah kepada seluruh rakyat nampaknya sudah menjadi hal yang suit untuk menjadi realisasi. Pemerintah kini telah terjembab dalam sistem kapitalistik yang menjadikan penguasa sekedar fasilitator bukan dalam rangka pengurusan urusan rakyat. Hal ini jelas berbeda dengan Islam yang memiliki konsep sempurna dalam konsep maupun atta pengelolaan hajat rakyat secara khusus.
Adapun dari sisi tatakelola negara, maka Islam telah memberi seperangkat aturan yang menolak berbagai bentuk kezaliman. Di antaranya tergambar dalam sistem politik ekonomi Islam yang berorientasi pada pemberian jaminan kesejahteraan rakyat secara adil dengan batasan-batasan syriatNya yang pasti memberi kemaslahatan dan keteraturan dalam aturan kehidupan.
Sistem ini memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan asasinya dan beroleh kesempatan sebesar-besarnya untuk meraih taraf kehidupan yang tinggi melalui pemberian akses yang seluas-luasnya terhadap faktor-faktor ekonomi. Kalaupun ada pembatasan syariat, maka itupun terkait dengan jaminan kemaslahatan hidup mereka dan jaminan atas tidak merebaknya kezaliman di antara mereka.

Wallahu’alam bii shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memilih Karena Dakwah

Tanpa Islam, Aku Gagal !

Demokrasi Bikin Tekor, Korupsinya Bikin Horor !